![]() |
Bung Karno bersama Ibu Fatmawati. [photo : arsip nasional] |
Siapa tidak kenal Bung Karno? Dia adalah presiden
pertama Republik Indonesia .Ir. Soekarno lahir
di Jawa Timur pada tanggal 6
Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21
Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama
yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno adalah
penggali Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai dasar negaraIndonesia itu dan ia sendiri yang
menamainya Pancasila. Ia adalah Proklamator
Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Presiden pertama yang akrab dengan panggilan Bung
Karno ini pernah diasingkan di Bengkulu ini pada masa pemerintahan kolonial
Belanda tahun 1938, dan masa pengasingan di Bengkulu berakhir pada tahun 1942.
Sejarah Pengasingan Bung Karno
Hidup di pengasingan bukanlah hal yang baru bagi
Bung Karno. Sebelumnya pada 1928, Bung Karno pernah diasingkan di daerah
Banceuy (Bandung). Kemudian dipindahkan ke Sukamiskin pada 1930—1932. Setelah
itu, beliau harus menjalani masa pembuangan di Flores pada 1934.
Selama dalam masa pengasingan, Bung Karno tetap
mengadakan kontak dengan dunia luar. Oleh karena itu, pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan maklumat Vergader Verbod. Maklumat tersebut berisi
perintah bahwa pada tanggal 14 Februari 1938, Bung Karno harus menjalani sisa
masa pembuangan terakhir ke Bengkulen (Bengkulu) beserta keluarganya. Bung
Karno kemudian berangkat ditemani dengan istri pertamanya yang bernama Inggit
Ganarsih. Mereka berangkat dari Flores dengan menumpang kapal dagang Belanda
yang bernama Sloot Van Den Beele.
Masa Pengasingan di Bengkulu
Sesampainya di Bengkulu, Bung Karno diinapkan
selama dua minggu di sebuah hotel bernama Centrum. Sebab, saat itu belum ada
tempat tinggal yang layak huni. Setelah rumah disiapkan, barulah Bung Karno dan
keluarganya mulai hidup di pengasingan. Rumah yang disediakan untuk Bung Karno
selama menjalani pengasingannya di Bengkulu, Bung Karno ditempatkan di
sebuah rumah yang awalnya adalah tempat tinggal orang Cina yang bernama Tan Eng
Cian. Tan Eng Cian adalah pengusaha yang menyuplai bahan pokok untuk kebutuhan
pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno menempati rumah tersebut dari tahun
1938 hingga tahun 1942. Rumah ini berjarak sekitar 1,6 km dari Benteng
Malborough. Rumah yang berada pada koordinat 0,3o 47l 85,1ll Lintang Selatan
dan 102o15l 41,7ll Bujur Timur ini berada di ketinggian 64 m di atas
permukaan laut.
Rumah yang dibangun pada awal abad ke-20 ini
berbentuk empat persegi panjang. Bangunan ini tidak berkaki dan dindingnya
polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan bentuk persegi panjang. Bentuk
jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada ventilasi terdapat kisi-kisi
berhias. Rumah dengan halaman yang cukup luas ini memiliki atap berbentuk
limas. Luas bangunan rumah ini adalah 162 m2, dengan ukuran 9×18 m.
Dulu luas keseluruhan rumah ini mencapai 4 hektar.
Selain rumah utama, ada beberapa bangunan lain. Dengan berjalannya waktu, oleh
Pemerintah Propinsi Bengkulu lahan yang ada kemudian dibagi-bagi untuk rumah
penduduk dan sebagian untuk gedung instansi pemerintah daerah setempat.
Walaupun diawasi dengan ketat, Bung Karno masih
mengadakan kontak dengan pemuda dan tokoh-tokoh yang ada di luar lokasi
pengasingan. Di antaranya adalah Buya Hamka, M. Husni Thamrin, dan K.H. Mas
Mansur.
Selama di pengasingan, Bung Karno banyak
menyumbangkan jasanya pada masyarakat. Ia mendirikan Masjid Jami’ di Jalan
Soeprapto dan kelompok diskusi ilmiah bernama Debating Cerdas Club. Beliau juga
mendirikan kelompok sandiwara Montecarlo sebagai media untuk menyusun strategi
agar kemerdekaan Indonesia tercapai.
Bertemu dengan Ibu Fatmawati
Kepribadian beliau yang supel, ramah, dan sederhana
dengan cepat mendapat simpati dari pemuka masyarakat setempat. Salah satunya
adalah Hasan Din. Ia kemudian menjodohkan Bung Karno dengan putrinya yang
bernama Fatmah. Bung Karno pun berpisah dengan istri pertamanya dan menikah
dengan Fatmah pada 1943.
Fatmah kemudian berganti nama menjadi Fatmawati.
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, seluruh rakyat mengenal Fatmawati
sebagai wanita pertama yang menjahit bendera sang saka Merah Putih. Atas
jasanya tersebut, beliau dianugerahi Bintang Maha Putera Adi Perdana sebagai
Pahlawan Perintis Kemerdekaan.
No comments:
Post a Comment