Seni Debus Banten |
Provinsi Banten adalah merupakan provinsi pemekaran Jawa Barat, tak heran sebagian orang
berpendapat bahwa orang Banten adalah orang Sunda juga, karena
kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh mereka pada umumnya sama dengan
orang Sunda. Dalam kebahasaan misalnya, orang Banten menggunakan bahasa
yang mereka sebut sebagai "Sunda-Banten",
yaitu bahasa yang menunjukkan beberapa perbedaan dibandingkan dengan
bahasa Sunda yang lain, terutama dalam intonasinya. Lepas dari masalah
kesamaan dan perbedaan kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh orang
Sunda dan orang Banten itu, yang jelas bahwa Banten adalah sebuah suku
bangsa yang ada di Provinsi Banten (Melalatoa, 1995).
Sebagaimana
masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia, orang Banten juga
mempunyai berbagai jenis kesenian tradisional. Salah satu diantaranya
yang kemudian yang kemudian menjadi label masyarakat Banten adalah
debus1). Artinya, jika seseorang mendengar kata "debus", maka yang
terlintas dalam benaknya adalah "Banten".
Konon, kesenian yang
disebut sebagai debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa
oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Para pengikut tarikat
ini ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga
karena "bertatap muka" dengan Tuhan), kerap menghantamkan berbagai
benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi yang mereka gunakan adalah "lau
haula walla Quwata ilabillahil 'aliyyil adhim" atau tiada daya upaya
melainkan karena Allah semata. Jadi, kalau Allah mengizinkan, maka
pisau, golok, parang atau peluru sekalipun tidak akan melukai mereka.
Di
Banten pada awalnya kesenian ini berfungsi untuk menyebarkan ajaran
Islam. Namun, pada masa penjajahan Belanda dan pada saat pemerintahan
Sultan Agung Tirtayasa, seni ini digunakan untuk membangkitkan semangat
pejuang dan rakyat Banten untuk melawan Belanda. Dewasa ini, seiring
dengan perkembangan zaman, kesenian ini hanya berfungsi sebagai sarana
hiburan semata.
Pemain
Para pemain debus terdiri dari
seorang syeh (pemimpin permainan), beberapa orang pezikir, pemain, dan
penabuh gendang. 1-2 minggu sebelum diadakannya pertunjukan debus
biasanya para pemain akan melaksanakan pantangan-pantangan tertentu agar
selamat ketika melakukan pertunjukan, yaitu: (1) tidak boleh
minum-minuman keras; (2) tidak boleh berjudi; (3) tidak boleh mencuri;
(4) tidak boleh tidur dengan isteri atau perempuan lain; dan lain
sebagainya.
Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan debus
biasanya dilakukan di halaman rumah pada saat diadakannya acara-acara
lain yang melibatkan banyak orang. Peralatan yang digunakan dalam
permainan adalah: (1) debus dengan gada-nya (2) golok yang digunakan
untuk mengiris tubuh pemain debus; (3) pisau juga digunakan untuk
mengiris tubuh pemain; (4) bola lampu yang akan dikunyah atau dimakan
(sama seperti permainan kuda lumping di Jawa Tengah dan Timur; (5) panci
yang digunakan untuk menggoreng telur di atas kepala pemain; (6) buah
kelapa ; (7) minyak tanah dan lain sebagainya. Sementara alat musik
pengiringnya antara lain: (1) gendang besar; (2) gendang kecil; (3)
rebana; (4) seruling; dan (5) kecrek.
Jalannya Permainan
Permainan
debus pada umumnya diawali dengan mengumandangkan beberapa lagu
tradisional (sebagai lagu pembuka atau "gembung"). Setelah gembung
berakhir, maka dilanjutkan dengan pembacaan zikir dan belum atau macapat
yang berisi puji-pujian kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.
Tujuannya adalah agar mendapat keselamatan selama mempertunjukkan debus.
Setelah zikir dan macapat selesai, maka dilanjutkan dengan permainan
pencak silat yang diperagakan oleh satu atau dua pemain tanpa
menggunakan senjata tajam.
Kegiatan selanjutnya adalah permainan
debus itu sendiri yang berupa berbagai macam atraksi, seperti: menusuk
perut dengan menggunakan debus; mengupas buah kelapa dan memecahkannya
dengan cara dibenturkan ke kepala sendiri; memotong buah kelapa dan
membakarnya di atas kepala; menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala;
menyayat tubuh dengan sejata tajam seperti golok dan pisau; membakar
tubuh dengan minyak tanah atau berjalan-jalan di atas bara api; memakan
kaca dan atau bola lampu; memanjat tangga yang anak tangganya adalah
mata golok-golok tajam dengan bertelanjang kaki; dan menyiram tubuh
dengan air keras.
Sebagai tambahan, pada atraksi penusukan perut
dengan menggunakan debus, seorang pemain memegang debus, kemudian
ujungnya yang runcing ditempelkan ke perut pemain lainnya. Setelah itu,
seorang pemain lain akan memegang kayu pemukul yang disebut gada dan
memukul bagian pangkal debus berkali-kali. Apabila terjadi "kecelakaan"
yang mengakibatkan pemain terluka, maka Syeh akan menyembuhkannya dengan
mengusap bagian tubuh yang terluka disertai dengan membaca
mantra-mantra, sehingga luka tersebut dalam dapat sembuh seketika.
Kemudian, ketika atraksi penyayatan tubuh dengan sejata tajam seperti
golok dan pisau, pemain akan menusukkan senjata tersebut ke beberapa
bagian tubuhnya seperti:: leher, perut, tangan, lengan, dan paha. Namun,
melakukannya, ia mengucapkan mantra-mantra agar tubuhnya kebal dari
senjata tajam. Salah satu contoh mantranya adalah: "Haram kau sentuh
kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat kawang,
tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan
kalimat la ilaha illahu". Dan, ketika atraksi pemakanan kaca dan atau
bola lampu, yang dimuntahkan bukannya serpihan kaca melainkan puluhan
ekor kelelawar hidup.
Nilai Budaya
Permainan debus yang
dilakukan oleh masyarakat Banten, jika dicermati secara mendalam, maka
di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di kemudian hari.
Nilai-nilai itu antara lain kerja sama, kerja keras, dan religius.
Nilai
kerja sama tercermin dalam usaha para pemain yang saling bahu-membahu
dalam menunjukkan atraksi-atraksi debus kepada para penonton. Nilai
kerja keras tercermin dalam usaha pemain untuk dapat memainkan debus.
Dalam hal ini seseorang yang ingin memainkan debus harus berlatih secara
terus menerus sambil menjalankan syarat-syarat dan pantangan-pantangan
tertentu agar ilmu debusnya menjadi sempurna. Dan, nilai religius
tercermin dalam doa-doa yang dipanjatkan oleh para pemain. Doa-doa
tersebut dibacakan dengan tujuan agar para pemain selalu dilindungi dan
mendapat keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan
debus.
Sumber:
1) Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.//aligufron.multiply
http://seninusantara.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment